MALAM
bertabur bintang. Benak Yuni diliputi kebimbangan, beberapa hari lagi Cahyo
Sambodo akan datang ke Desa Tumpang, pernikahannya akan segera digelar. Ibunya berkali-kali
mengatakan bahwa rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, tapi Yuni merasa
tidak yakin bisa mencintai Cahyo. Mungkin bisa, tapi dalam waktu yang lama.
Sepulang mengunjungi Cahyo di Yogya, ia mendapat kesan bahwa Cahyo
kekanak-kanakan, tidak mandiri, kurang cekatan, dan akan bisa menafkahi
keluarga hanya jika meneruskan usaha orangtua atau
mertua.
"Kang
Tirta," Yuni memberanikan diri untuk bertanya, "apakah Kakang sudah
memiliki kekasih, atau... istri?"
Tirta
menatap Yuni, lalu menggeleng pelan. Ia terenyak, melepaskan rangkulannya dari
pundak Yuni.
Yuni
deg-degan, menimbang-nimbang, apakah ia akan menceritakan persoalan yang
dihadapinya kepada Tirta? "Kenapa Kakang sendiri saja ke mana-mana?"
"Saya
merasa belum waktunya mencari pendamping hidup, Dik Yuni. Orang yang suka
berkelana seperti saya tentu akan mengecewakan seorang yang menjadi kekasih
saya."
"Lalu, apakah hati Kang Tirta damai, ke mana-mana
sendiri?"
"Ada kalanya, Dik Yuni, kedamaian tidak ditentukan dari
kehadiran orang lain dalam kehidupan kita. Kedamaian bisa kita temukan ketika
menyatu dengan alam, berkelana, atau... menikmati kopi yang nikmat di
kedaimu," kata Tirta sambil tersenyum.
Wanita adalah makhluk kehadiran—itulah yang Yuni pahami.
Wanita bisa merasa damai bila ada yang hadir dan melindunginya. Dan, sosok
Tirta yang baru Yuni temui beberapa jam terakhir ini membuatnya yakin, ialah
yang semestinya selalu hadir dalam hidupnya lebih lama, bahkan mungkin
selamanya. Yuni teringat sesuatu, "Apakah ajaran agama atau ilmu tertentu
yang Kakang pelajari dari Ki Kramareksa yang membuat Kakang jadi berpikiran dan
memilih jalan hidup begini?"
"Tidak sepenuhnya benar, Dik Yuni."
Yuni ingin mendengar penjelasan lebih panjang dari jawaban
Tirta barusan, tapi Tirta hanya diam saja. Ia pun jadi sadar, selama ini
dibesarkan dalam keluarga yang hanya mementingkan kesejahteraan, hidup nyaman,
tak pernah kekurangan makanan, serta berlimpah harta benda dan kemewahan. Ilmu
pengetahuan, rahasia Tuhan, atau misteri kehidupan rasanya tak pernah benar-benar
ia selami. Bahkan, keindahan cinta dan asmara yang ia dengar dari
teman-temannya hanya melahirkan damba dan tanda tanya dalam benaknya. Berada di
samping seorang pria yang tampaknya begitu berdahaga pada misteri kehidupan
membuat jiwanya bergairah, memikirkan banyak hal.
Ia jadi teringat, beberapa kali mendengar cerita tentang
bangsanya yang tertindas sejak kedatangan Kompeni, tapi tak pernah terlalu
menggubrisnya. Banyak orang yang datang ke kedainya membicarakan tentang
rencana perlawanan terhadap Kompeni, dan ia menduga, bisa jadi Tirta menjadi
bagian di dalamnya. Atau, Tirta sedang mempersiapkan diri menjadi pemuka agama?
"Aku ingin tahu, apakah agama yang Kakang anut?"
Tirta menunduk sebentar, lalu berkata setelah kepalanya
tegak, memandang ke bukit-bukit. "Saya tidak beragama. Saya kira, saya
tidak perlu menjadi Muslim untuk menikmati shalawat yang merdu menjelang
maghrib, ketika langit beranjak gelap. Saya tidak perlu menjadi Kristen untuk
mengetahui kasih dan kemurahan hati Isa Almasih kepada mereka yang sakit dan
membutuhkan pertolongan. Saya tidak perlu menjadi Buddha atau Hindu untuk
merasakan keheningan yang agung pada candi-candi yang ada di lereng-lereng
gunung. Yang saya perlukan hanyalah jiwa yang bersedia menaruh hormat pada
sesuatu yang dianggap luhur oleh umat manusia."
Yuni terpana—baru pertama ia mendengar jawaban demikian.
Setelah mengatakan kalimat itu Tirta mengajak Yuni pulang, kembali ke rumahnya.
Sudah lewat tengah malam ketika mereka berdua sampai di rumah Yuni. Yuni menempelkan
kuping di dinding di luar kamar, memastikan keadaan aman. Ia perlahan-lahan
membuka jendela yang tadi ia tutup dari luar.
Yuni tersenyum lebar ketika Tirta merentangkan lagi kedua
tangannya, bersiap membopong Yuni masuk ke kamarnya. Yuni tertawa kecil ketika
pantatnya berhasil menduduki kusen jendela, memandangi Tirta yang ada di
bawahnya dengan manja.
"Jadi, apakah kita akan bertemu lagi, Kakang?"
tanya Yuni.
Belum sempat Tirta menjawab, pintu kamar Yuni terbuka. Yuni
menoleh. Ibunya berdiri di muka pintu sambil berkacak pinggang dan mendelik.
"Apa-apaan kamu! Duduk di jendela! Ngomong sama siapa?"
Yuni menahan napas, nyaris terjatuh mendengar sentakan
ibunya. Tangannya berpegang pada bagian kusen jendela yang lain agar tubuhnya
tetap seimbang. Ia memandang Tirta, "Kakang... pergilah!"
Tirta menggeleng. "Ada apa?"
"Hei, siapa yang kau ajak bicara, Yuni?! Siapa orang di
luar sana itu?" tanya Ibu sambil mendekatinya.
Yuni menjejakkan kedua kaki di lantai kamar, berusaha
menghalangi Ibu melihat Tirta. Ia tak mau Tirta disalahkan. "Bu... dia
teman saya."
Mata Ibu melihat wajah Tirta samar-samar. "Hah... dia
laki-laki... apa yang kalian lakukan di kamar ini?"
Yuni menelan ludah, memandang Ibu dan Tirta bergantian. Saat
itu pula terdengar suara kereta kuda dari kejauhan—dua kereta kuda, berjalan
beriringan. Yuni segera tahu, siapa yang datang. "Jadi, ayah mampir ke
Yogya?"
Ibu, di tengah-tengah amarahnya mengangguk. "Iya,
menjemput Cahyo. Nah, mereka sudah datang. Cepat temui mereka, dan bawa orang
asing itu!" katanya sambil keluar kamar, hendak menuju ruang tamu,
membukakan pintu.
Yuni, wanita muda yang sedang gelisah dan merindukan cinta,
tak bisa lagi berpikir panjang. Tak lama setelah Ibu keluar kamar, ia berkata
kepada Tirta, "Kakang, bawa aku pergi dari sini!" katanya sambil
duduk di kusen jendela, memajukan kedua tangannya, meminta Tirta menyambutnya.
"Mau ke mana, Dik?" tanya Tirta, kebingungan.
"Nanti aku akan jelaskan. Cepatlah, Kang. Aku harus pergi
dari sini," kata Yuni setengah berteriak, panik melihat dua kereta kuda
yang makin dekat.
"Yuni... apakah kau..."
Belum sempat Tirta menyelesaikan ucapannya, Yuni sudah
melompat. Lututnya menghantam tanah. "Sudahlah, Kang, cepat bawa aku
pergi!" kata Yuni sambil menggandeng tagan Tirta, mengajaknya berlari.
"Di mana Kakang meletakkan kuda Kakang?"
Tirta terdiam, berlari sambil menggandeng Yuni ke pohon
tempat dia mengikatkan tali kudanya. "Kita akan ke mana?"
Yuni terengah-engah ketika sampai di pohon itu.
"Entahlah, Kang. Ke mana saja, terserah. Kita harus pergi. Setidaknya
untuk beberapa hari ke depan."
"Yuni..." Tirta mengelus pipinya. "Apa yang
terjadi? Aku bukan siapa-siapamu. Nanti..."
Yuni menutup mulut Tirta, menoleh ke belakang, dua orang
tampak berlari-lari membawa obor. "Kakang mau menyelamatkanku?! Atau
tidak?!" Yuni berteriak, air matanya menetes. "Kita harus pergi,
jauh, jauh dari rumah ini! Sekarang!"
Tirta melepaskan tali kuda, segera membopong Yuni ke atas
kuda. Ia pun menunggangi kuda itu, duduk di depan Yuni, memacu kuda dengan
begitu kencang, meninggalkan rumah Yuni.
Yuni pasrah, Tirta mau membawanya ke mana. Yuni memeluk
pinggang Tirta erat-erat. Ia tak ingin terjatuh, juga tak ingin melepaskan
Tirta. Seumur hidup, baru pertama kali ia menunggang kuda begitu kencang
bersama seorang pria. Tangisnya sirna, senyum mulai terbit di wajahnya, walau
kebimbangan masih berkecamuk dalam batinnya.
Pontianak, 3 Januari 2015