Friday, January 2, 2015

Seri 3

Seri 3: Rencana Pernikahan Yuni (3)

MALAM bertabur bintang. Benak Yuni diliputi kebimbangan, beberapa hari lagi Cahyo Sambodo akan datang ke Desa Tumpang, pernikahannya akan segera digelar. Ibunya berkali-kali mengatakan bahwa rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, tapi Yuni merasa tidak yakin bisa mencintai Cahyo. Mungkin bisa, tapi dalam waktu yang lama. Sepulang mengunjungi Cahyo di Yogya, ia mendapat kesan bahwa Cahyo kekanak-kanakan, tidak mandiri, kurang cekatan, dan akan bisa menafkahi keluarga hanya jika meneruskan usaha orangtua atau mertua.    
"Kang Tirta," Yuni memberanikan diri untuk bertanya, "apakah Kakang sudah memiliki kekasih, atau... istri?"
Tirta menatap Yuni, lalu menggeleng pelan. Ia terenyak, melepaskan rangkulannya dari pundak Yuni.
Yuni deg-degan, menimbang-nimbang, apakah ia akan menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada Tirta? "Kenapa Kakang sendiri saja ke mana-mana?"
"Saya merasa belum waktunya mencari pendamping hidup, Dik Yuni. Orang yang suka berkelana seperti saya tentu akan mengecewakan seorang yang menjadi kekasih saya."
"Lalu, apakah hati Kang Tirta damai, ke mana-mana sendiri?"
"Ada kalanya, Dik Yuni, kedamaian tidak ditentukan dari kehadiran orang lain dalam kehidupan kita. Kedamaian bisa kita temukan ketika menyatu dengan alam, berkelana, atau... menikmati kopi yang nikmat di kedaimu," kata Tirta sambil tersenyum.
Wanita adalah makhluk kehadiran—itulah yang Yuni pahami. Wanita bisa merasa damai bila ada yang hadir dan melindunginya. Dan, sosok Tirta yang baru Yuni temui beberapa jam terakhir ini membuatnya yakin, ialah yang semestinya selalu hadir dalam hidupnya lebih lama, bahkan mungkin selamanya. Yuni teringat sesuatu, "Apakah ajaran agama atau ilmu tertentu yang Kakang pelajari dari Ki Kramareksa yang membuat Kakang jadi berpikiran dan memilih jalan hidup begini?"
"Tidak sepenuhnya benar, Dik Yuni."
Yuni ingin mendengar penjelasan lebih panjang dari jawaban Tirta barusan, tapi Tirta hanya diam saja. Ia pun jadi sadar, selama ini dibesarkan dalam keluarga yang hanya mementingkan kesejahteraan, hidup nyaman, tak pernah kekurangan makanan, serta berlimpah harta benda dan kemewahan. Ilmu pengetahuan, rahasia Tuhan, atau misteri kehidupan rasanya tak pernah benar-benar ia selami. Bahkan, keindahan cinta dan asmara yang ia dengar dari teman-temannya hanya melahirkan damba dan tanda tanya dalam benaknya. Berada di samping seorang pria yang tampaknya begitu berdahaga pada misteri kehidupan membuat jiwanya bergairah, memikirkan banyak hal.
Ia jadi teringat, beberapa kali mendengar cerita tentang bangsanya yang tertindas sejak kedatangan Kompeni, tapi tak pernah terlalu menggubrisnya. Banyak orang yang datang ke kedainya membicarakan tentang rencana perlawanan terhadap Kompeni, dan ia menduga, bisa jadi Tirta menjadi bagian di dalamnya. Atau, Tirta sedang mempersiapkan diri menjadi pemuka agama? "Aku ingin tahu, apakah agama yang Kakang anut?"
Tirta menunduk sebentar, lalu berkata setelah kepalanya tegak, memandang ke bukit-bukit. "Saya tidak beragama. Saya kira, saya tidak perlu menjadi Muslim untuk menikmati shalawat yang merdu menjelang maghrib, ketika langit beranjak gelap. Saya tidak perlu menjadi Kristen untuk mengetahui kasih dan kemurahan hati Isa Almasih kepada mereka yang sakit dan membutuhkan pertolongan. Saya tidak perlu menjadi Buddha atau Hindu untuk merasakan keheningan yang agung pada candi-candi yang ada di lereng-lereng gunung. Yang saya perlukan hanyalah jiwa yang bersedia menaruh hormat pada sesuatu yang dianggap luhur oleh umat manusia."
Yuni terpana—baru pertama ia mendengar jawaban demikian. Setelah mengatakan kalimat itu Tirta mengajak Yuni pulang, kembali ke rumahnya. Sudah lewat tengah malam ketika mereka berdua sampai di rumah Yuni. Yuni menempelkan kuping di dinding di luar kamar, memastikan keadaan aman. Ia perlahan-lahan membuka jendela yang tadi ia tutup dari luar.
Yuni tersenyum lebar ketika Tirta merentangkan lagi kedua tangannya, bersiap membopong Yuni masuk ke kamarnya. Yuni tertawa kecil ketika pantatnya berhasil menduduki kusen jendela, memandangi Tirta yang ada di bawahnya dengan manja.
"Jadi, apakah kita akan bertemu lagi, Kakang?" tanya Yuni.
Belum sempat Tirta menjawab, pintu kamar Yuni terbuka. Yuni menoleh. Ibunya berdiri di muka pintu sambil berkacak pinggang dan mendelik. "Apa-apaan kamu! Duduk di jendela! Ngomong sama siapa?"
Yuni menahan napas, nyaris terjatuh mendengar sentakan ibunya. Tangannya berpegang pada bagian kusen jendela yang lain agar tubuhnya tetap seimbang. Ia memandang Tirta, "Kakang... pergilah!"
Tirta menggeleng. "Ada apa?"
"Hei, siapa yang kau ajak bicara, Yuni?! Siapa orang di luar sana itu?" tanya Ibu sambil mendekatinya.
Yuni menjejakkan kedua kaki di lantai kamar, berusaha menghalangi Ibu melihat Tirta. Ia tak mau Tirta disalahkan. "Bu... dia teman saya."
Mata Ibu melihat wajah Tirta samar-samar. "Hah... dia laki-laki... apa yang kalian lakukan di kamar ini?"
Yuni menelan ludah, memandang Ibu dan Tirta bergantian. Saat itu pula terdengar suara kereta kuda dari kejauhan—dua kereta kuda, berjalan beriringan. Yuni segera tahu, siapa yang datang. "Jadi, ayah mampir ke Yogya?"
Ibu, di tengah-tengah amarahnya mengangguk. "Iya, menjemput Cahyo. Nah, mereka sudah datang. Cepat temui mereka, dan bawa orang asing itu!" katanya sambil keluar kamar, hendak menuju ruang tamu, membukakan pintu.
Yuni, wanita muda yang sedang gelisah dan merindukan cinta, tak bisa lagi berpikir panjang. Tak lama setelah Ibu keluar kamar, ia berkata kepada Tirta, "Kakang, bawa aku pergi dari sini!" katanya sambil duduk di kusen jendela, memajukan kedua tangannya, meminta Tirta menyambutnya.
"Mau ke mana, Dik?" tanya Tirta, kebingungan.
"Nanti aku akan jelaskan. Cepatlah, Kang. Aku harus pergi dari sini," kata Yuni setengah berteriak, panik melihat dua kereta kuda yang makin dekat.
"Yuni... apakah kau..."
Belum sempat Tirta menyelesaikan ucapannya, Yuni sudah melompat. Lututnya menghantam tanah. "Sudahlah, Kang, cepat bawa aku pergi!" kata Yuni sambil menggandeng tagan Tirta, mengajaknya berlari. "Di mana Kakang meletakkan kuda Kakang?"
Tirta terdiam, berlari sambil menggandeng Yuni ke pohon tempat dia mengikatkan tali kudanya. "Kita akan ke mana?"
Yuni terengah-engah ketika sampai di pohon itu. "Entahlah, Kang. Ke mana saja, terserah. Kita harus pergi. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan."
"Yuni..." Tirta mengelus pipinya. "Apa yang terjadi? Aku bukan siapa-siapamu. Nanti..."
Yuni menutup mulut Tirta, menoleh ke belakang, dua orang tampak berlari-lari membawa obor. "Kakang mau menyelamatkanku?! Atau tidak?!" Yuni berteriak, air matanya menetes. "Kita harus pergi, jauh, jauh dari rumah ini! Sekarang!"
Tirta melepaskan tali kuda, segera membopong Yuni ke atas kuda. Ia pun menunggangi kuda itu, duduk di depan Yuni, memacu kuda dengan begitu kencang, meninggalkan rumah Yuni.
Yuni pasrah, Tirta mau membawanya ke mana. Yuni memeluk pinggang Tirta erat-erat. Ia tak ingin terjatuh, juga tak ingin melepaskan Tirta. Seumur hidup, baru pertama kali ia menunggang kuda begitu kencang bersama seorang pria. Tangisnya sirna, senyum mulai terbit di wajahnya, walau kebimbangan masih berkecamuk dalam batinnya. 

Pontianak, 3 Januari 2015

Sunday, December 21, 2014

Seri 2

Seri 2: Rencana Pernikahan Yuni (2)

DI kedai kopi, pria berbaju putih yang menunggang kuda itu menyeruput kopi yang dibuat Yuni perlahan-lahan. Ia membaui asap yang menari-nari di atas gelas sambil terpejam. Beberapa kali Yuni melihatnya menarik dan mengembuskan napas panjang sambil tersenyum kecil. Yuni sesekali melirik, bahkan menatap wajah pria itu bila ia terpejam. Bila mata pria itu terbuka, buru-buru ia mengalihkan wajah, memandang tempat lain.
"Jadi, Adik hanya sendirian menjaga kedai kopi ini?" tanya pria itu, membuat Yuni terkesiap.
"Iya, Tuan. Kedai ini milik ayah saya." Yuni mencoba akrab. "Tuan sendiri, berasal dari mana? Lalu, hendak ke mana?"
"Saya berasal dari Singasari, hendak ke Ranu Kumbolo. Saya akan menyampaikan pesan kepada seseorang yang memiliki pondok di tepi Ranu Kumbolo."
"Ranu Kumbolo... saya pernah mendengar tentang danau itu dari Ayah. Betapa indah danau itu saat pagi atau senja. Katanya ada dua bukit kecil di tepi danau, dan bayang-bayang keduanya tampak jelas di air danau bila ditimpa cahaya yang remang."
Pemuda itu tersenyum, menatap Yuni, memperhatikan caranya bercerita. "Kurasa kau perlu ke sana bila ada kesempatan. Betul katamu, danau itu memang indah."
"Ah," kata Yuni sambil memasang wajah cemberut. "Tapi tidak ada yang mengajak aku ke sana. Ayah selalu sibuk."
Pemuda itu menatap kopi di depannya, telunjuk tangan kanannya ia putarkan beberapa kali di bibir gelas. Ia sedang berpikir. Beberapa saat Yuni menunggu tanggapannya. "Adik, bolehkah saya tahu, siapa nama Adik?"
"Nama saya Wahyuni. Panggil saya Yuni. Kalau Tuan?"
"Saya Tirta."
"Tirta, bukankah itu berarti 'air', Tuan?" tanya Yuni yang tak ingin pemuda itu lekas pergi karena ia melihat kopinya tinggal sedikit.
"Benar, Tirta berarti air. Kau tahu dari mana, Dik Yuni?"
"Aku pernah mendengarnya, entah dari siapa, aku lupa." Pikiran Yuni kembali ke Ranu Kumbolo, ia memberanikan diri berkata, "Kalau nama Tuan berarti 'air', bolehkah saya bertanya?"
Pemuda itu mengangkat alis. "Boleh."
"Tuan suka ketenangan seperti danau, kedahsyatan seperti gelombang samudera, perjalanan panjang seperti sungai, atau cepat bergerak seperti air terjun?"
Pemuda itu menunduk, menyembunyikan senyum yang makin lebar di wajahnya. Ia mengangkat wajah, merenung sejenak sebelum berkata, "Suasana hatiku sering berubah-ubah. Kukira Adik juga sering mengalaminya. Tidak usah jauh-jauh: di perjalanan tadi dan di kedai kopi ini suasana hatiku terasa berbeda."
"Kalau di perjalanan tadi?"
"Rasanya seperti air terjun. Aku ingin bergerak cepat."
"Kalau... suasana hati Tuan di sini?"
"Aku merasa ada danau di dalam hatiku. Kopi dan kehadiran Adik membuatku lebih tenang."
Yuni meremas ujung kain bajunya dengan lembut, menunduk, tersenyum lebar. Ia memang mempunyai kemampuan itu, memikat para pria. Tiap hari ia digoda, sudah kebal dirayu-rayu. Tapi entah kenapa, pemuda yang satu ini lain daripada yang lain. Ada pesona dan misteri yang tidak biasa dari cara bicaranya. Namun, mengingat pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, hatinya gelisah.
"Adik," suara Tirta membuyarkan lamunannya. "Saya hendak pamit," katanya sambil menyodorkan uang untuk membayar.
"Terima kasih, Tuan," kata Yuni sambil mengulurkan tangan, menerima uang.
Tirta tersenyum, berbalik, melangkah keluar. Yuni menatap punggung pemuda itu dengan sedih. Ia akan pergi, dan mungkin tak akan pernah kembali. Kedai ini memang hanya tempat singgah. Semua orang datang dan pergi. Yuni menutup kedainya, melangkah pulang. Satu senja berlalu; ia menghitung hari, lagi dan lagi.

MALAM hari, menjelang tidur, samar-samar Yuni mendengar ringkikan kuda. Ia teringat pada pemuda itu, bangkit dari ranjangnya, membuka jendela. Di luar rumah ia tak melihat apa pun, sepi, hanya terdengar kerik jangkrik. Ia menatap bintang-bintang, menunggu ketidakpastian.
Saat hendak menutup jendela, samar-samar Yuni melihat cahaya di kejauhan. Cahaya obor. Obor itu bergerak makin dekat, menuju rumahnya. Senyumnya mengembang begitu lebar ketika melihat wajah yang memegang obor itu. Tirta, pemuda itu!
"Hei, Tuan, kenapa kemari?" teriaknya pelan ketika Tirta sudah makin dekat rumahnya.
Tirta menancapkan obor di tanah, berlari kecil menghampiri Yuni.
"Tunggu sebentar," kata Yuni meninggalkan Tirta yang hampir menjawab pertanyaannya. Yuni membuka pintu, berjingkat-jingkat mendekati kamar orangtuanya. Ia menempelkan kuping di pintu kamar, lalu tahu, ibunya sudah tidur. Ayahnya sedang keluar desa sejak kemarin, membantu Kompeni mengawasi produksi kopi di desa lain, baru akan pulang beberapa hari ke depan.
"Bagaimana Tuan bisa kemari?"
"Aku sebenarnya tadi sangat lelah waktu singgah di kedaimu. Setelah berpamitan, aku tidak langsung pergi. Aku duduk di bawah pohon, tak terlalu jauh dari kedaimu. Tali kuda kuikatkan di pohon. Ketika terjaga, langit mulai gelap. Aku mengurungkan niat ke Ranu Kumbolo, berbalik arah."
"Kedaiku tutup tak lama setelah Tuan pergi."
"Iya, aku lewat lagi di depan kedaimu. Sudah tutup. Tapi tak lama kamudian aku melihatmu. Kau sedang hendak keluar rumah. Jadi, aku tahu rumahmu."
"Oh, iya. Saya selalu pulang ke rumah setelah dari kedai. Lalu, keluar lagi untuk mandi di sungai di seberang sana itu," kata Yuni sambil menunjuk suatu arah.
Tirta mengangguk. "Dik Yuni apakah sudah mengantuk?"
Yuni hampir terlelap sebelum ia membuka jendela. Ia menggeleng. 
"Bagaimana kalau kita berjalan-jalan? Tadi kulihat ada batu besar yang tak jauh dari kedaimu. Nyaman sekali kalau duduk-duduk di situ."
Yuni mendesah panjang. Batu itu! Itu tempat kesukaannya untuk menyendiri! Tapi ia mengkhawatirkan satu hal. "Saya mau, saya suka tempat itu. Tapi, pintu rumah ini bila dibuka dan ditutup suara deritnya akan membangunkan Ibu." Rumah Yuni dibangun agak tinggi, lantainya semeter di atas tanah.
"Jadi?"
"Kalau Ibu terbangun, lalu tahu saya keluar malam-malam dengan orang asing seperti Tuan, saya akan dimarahi habis-habisan."
"Aku memang orang asing. Tapi yakinlah, aku bukan pria yang jahat, Dik Yuni. Kalau Dik Yuni melompat dari jendela, nanti kaki atau badannya bisa sakit, membentur tanah. Sini, mari kugendong, keluar dari jendela ini," kata Tirta sambil merentangkan kedua tangannya, siap menyambut Yuni.
Yuni tersenyum, mengangkat kakinya, memeluk leher Tirta. Ia memutuskan percaya, Tirta bukan orang jahat. Yuni tertawa kecil ketika tubuhnya mendarat dalam dekapan Tirta. Tirta membawanya menjauhi jendela, tetap menggendongnya. "Tuan jadi nakal, ya? Kenapa saya digendong terus sambil jalan?"
"Oh iya, maafkan saya, Dik Yuni. Saya lupa tugas saya tadi hanya membantu Adik turun," kata Tirta sambil menurunkan Yuni dari gendongannya.
Sepasang manusia itu pun selama beberapa saat berjalan dalam keheningan, sama-sama menunduk. Yuni sebenarnya ingin digendong lebih lama, tapi ia tak mau harga dirinya jadi sedemikian rendah di mata Tirta, terlalu mudah akrab dengannya.
Saat sampai di batu hitam yang besar dan landai itu, Yuni pun bertanya, "Apa sebenarnya pekerjaan Tuan?"
"Dik Yuni, sebelum saya bercerita, bolehkah saya meminta Adik memanggil saya dengan panggilan lain? Panggil saya 'Kakang', karena saya memanggilmu 'Adik'."
Yuni mengangguk. "Iya, Kakang."
"Begini, saya seorang pembawa pesan. Pengantar surat. Namun, dalam waktu dekat saya akan berhenti. Saya akan belajar beberapa ilmu dari Ki Kramareksa yang tinggal di Ranu Kumbolo itu."
"Ilmu? Ilmu apa saja, Kakang?"
"Ki Kramareksa terkenal pengetahuannya dalam kanuragan dan agama. Saya pernah bertemu tiga kali dengan beliau. Kata-kata dan jurus-jurus beliau membuat saya terkesan." 
"Lalu, setelah berguru pada beliau, Tuan akan bekerja sebagai apa?" 
Tirta mendesah panjang. "Entahlah, Dik Yuni. Sejak Kompeni datang ke Nusantara, pekerjaan yang paling diincar karena cepat membuat kaya adalah menjadi pedagang. Tidak lagi banyak orang yang berminat menjadi abdi raja, petani, atau pemuka agama."
Yuni merasa masih kurang pengetahuannya, bingung menanggapi apa yang dikatakan Tirta baru saja. Tirta mengucapkan beberapa kalimat lagi, tapi Yuni tak mendengarkannya. Ia hanya suka mendengar suara Tirta yang agak berat, menenangkan hatinya. Yang ada dalam pikirannya adalah pernikahan yang menakutkan. Yuni sedang dihimpit ketidakpastian.
"Kakang, menurut Kakang, apa itu cinta?" Yuni terkejut, ia seperti tak sadar mengucapkannya. "Tapi, kalau Kakang tak mau menjawab tidak apa-apa," lanjutnya buru-buru. 
Tirta menatap wajah Yuni, menggeleng. Yuni tidak mengerti mengapa pria itu menggeleng. Tirta mendekatkan duduknya, telapak tangannya mengelus punggung tangan Yuni perlahan, meraba jari-jarinya. Yuni ingin menarik tangannya, tapi tidak jadi—kapan lagi ia akan merasakan kemesraan seperti ini?
"Mungkin, cinta adalah keheningan, Dik. Cinta memampukan kita tenggelam dalam keheningan, walau dunia ini penuh keributan, juga ketidakpastian." 
Tangan Tirta berpindah ke pundak Yuni, merangkulnya. Yuni merebahkan kepalanya di pundak Tirta, terpejam. Pundak Tirta yang berbadan kekar itu membuatnya merasa aman dan damai. Malam makin larut dan dingin. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Yuni tak ingin rebah di kasur. Ia ingin sampai pagi di atas batu itu, bersama Tirta. Tapi Tirta bukan kekasihnya, dan ia belum tahu apa yang sedang Yuni alami. (Bersambung) 

Pontianak, 22 Desember 2014

Monday, December 15, 2014

Seri 1

Seri 1: Rencana Pernikahan Yuni (1)

GADIS penjaga kedai kopi di ujung Desa Tumpang itu kabarnya akan segera menikah. Beberapa pria yang sering mengunjungi kedai jadi sering berwajah muram karenanya. Yang duda hingga perjaka, yang belum beristri hingga beristri tiga, jadi kecewa. Yuni, gadis itu, walaupun menurut beberapa orang tidak terlalu cantik, seringkali berhasil memikat pria-pria yang datang ke kedainya.
Yuni berkulit kuning langsat. Rambutnya hitam sepunggung, bila ia biarkan terurai tampak sungguh menawan. Dan, yang paling menggemaskan adalah suaranya yang kecil, mirip kanak-kanak. Menurut beberapa cerita, orang yang tidak ingin minum kopi jadi ingin kalau Yuni sudah menyapanya sambil tersenyum kecil, "Mau saya buatkan kopi, Mas?" 
"Yuni dan kopinya... oh, sungguh, keduanya adalah candu," bisik seorang pria yang terkenal suka membuat syair pada suatu petang kepada pria-pria yang sedang minum kopi di kedai. Saat itu Yuni sedang ke belakang—mungkin sedang buang air kecil atau mencuci gelas dan sendok—tidak mendengarnya. Namun, beberapa pria yang ada pada saat itu di situ menggumamkan kata-kata itu, terus mengingatnya.
Begitulah, di Desa Tumpang tersiar berita atau kata-kata kekaguman: "Yuni dan kopi adalah candu." Kata-kata itu pun menyebar, membuat para pria suka berkata satu sama lain: "Sampai jumpa lagi di Kedai Kopi Yuni."
Cerita-cerita tentang Yuni membuat kedai itu tidak pernah sepi. Namun, tidak ada pria yang berani mendekati Yuni. Ayah Yuni sangat disegani warga desa karena jabatan dan kekuasaannya. Noto Sugriwo namanya, dipercaya Kompeni sebagai penanggung jawab produksi kopi yang dikirim ke Eropa. Sejak kopi mulai ditanam di berbagai wilayah Nusantara pada akhir abad ke-17, kopi menjadi minuman yang sangat digemari berbagai kalangan.
Noto Sugriwo, sama seperti antek Kompeni lainnya, cenderung tidak disukai rakyat. Tapi belum ada yang berani mengatakannya terang-terangan. Biasanya mereka menunduk sambil tersenyum bila berjumpa dengannya, tapi menyeringai atau cemberut setelah ia berlalu. Ada yang sangat membenci Noto Sugriwo sehingga suka menggunjingkannya sambil mengganti namanya menjadi Noto Segawon. "Segawon" dalam bahasa Jawa halus artinya "anjing". Bahkan, di desa itu, ada seorang pria yang berlaku kelewatan, anjing peliharaannya ia beri nama Noto.
Noto Sugriwo sedikit banyak diselamatkan oleh kedai kopi yang didirikannya. Ia tahu, usaha mandirinya ini bakal ramai sehingga mempercayakannya kepada Yuni, tidak kepada orang lain. Mempercayakan kedai itu kepada orang selain keluarganya terlalu besar risikonya. Belum tentu orang kepercayaannya itu loyal; apalagi banyak sekali orang-orang yang membenci Kompeni, bisa saja ia dihasut dan kedainya bangkrut.
Noto Sugriwo berencana menjodohkan Yuni dengan seorang pria asal Yogyakarta, seorang kerabat raja. "Agar nanti, kalau anak-anakmu lahir, mereka terbiasa dengan gaya hidup keraton dan berpikiran maju. Tidak seperti orang-orang goblok yang kerjanya cuma bisa ngopi dan bermalas-malasan di kedai kopi kita," kata Noto Sugriwo kepada Yuni suatu ketika.
Yuni pernah bertemu dengan calon suaminya itu beberapa tahun lalu ketika ia masih berumur 15 tahun. Ia bersama ayah, ibu, dan adiknya mengunjungi keluarga mereka di Yogyakarta, sekalian mampir ke rumah calon suami Yuni. Namanya Raden Mas Cahyo Sambodo, sering dipanggil Cahyo. Cahyo tidak bisa dibilang tampan, tapi tidak juga jelek. Yuni tidak tertarik kepadanya. Ia terlalu suka tertawa, bahkan untuk hal-hal yang tidak lucu, dan sedikit-sedikit berkata, "Oh... gitu."
Yuni masih ingat obrolan mereka. Mereka berdua duduk di pendopo rumah Cahyo, hari mulai beranjak malam. Yuni ingin suasana yang romantis, barangkali saja Cahyo bisa memikatnya. Ia ingin Cahyo merayunya sambil mengibaratkannya sebagai bintang, cahaya, atau apalah. Yuni saat itu masih belum mengenal cinta, ingin merasakan apa yang diceritakan teman-temannya tentang saat-saat mereka berpacaran dengan pasangannya, mendengar kata-kata cinta yang mesra dan membuai hati.
Tapi, Cahyo malah membuka obrolan dengan membahas makanan. Yuni tidak suka pada topik itu. "Yuni, kau suka makan apa? Kenapa tadi makannya sedikit?"
"Aku sebenarnya suka makan apa saja, Mas Cahyo. Mungkin, malam ini aku tidak lagi ingin makan."
Cahyo tersenyum kecil, lalu berkata, "Oh... gitu."
Yuni mencoba ramah, lalu menimpali, "Ya... begitu."
Cahyo bertanya lagi, "Yuni, berapa umurmu?"
"Lima belas tahun."
"Oh... gitu," katanya sambil tersenyum lebar.
Cahyo menanyakan beberapa hal lagi kepada Yuni, Yuni menjawabnya, lalu Cahyo menanggapi sambil tersenyum: "Oh... gitu." Begitulah yang terjadi berulang-ulang pada malam itu. Yuni pun mulai kesal, tapi masih menahan diri. Ia ingin mencairkan suasana, mengajak Cahyo bermain tebak-tebakan, "Mas Cahyo, ibunya dielus-elus, anaknya diinjak-injak. Ayo tebak, apakah itu?"
Cahyo tersenyum, bola matanya berputar-putar. "Ini tebak-tebakan?"
"Iya, ini tebak-tebakan!"
"Oh... gitu."
"Jawab cepat, Mas!" kata Yuni setengah membentak.
Cahyo menggeleng setelah berpikir beberapa detik, tidak tahu jawabannya.
Yuni menghela napas panjang, memberi jawabannya. "Tangga, Mas."
Cahyo berpikir sejenak. "Oh... gituuu," katanya kemudian sambil mengangguk-angguk dan tersenyum lebar.
Yuni makin muak melihat senyum itu, akhirnya meninggalkan Cahyo sendiri di pendopo. Dalam perjalanan pulang ke Tumpang ia berkata kepada ayahnya tak ingin menjadi istri Cahyo. Yuni dimarahi ayahnya habis-habisan ketika ia berkata kepada ayahnya bahwa Cahyo mungkin saja sedikit kurang waras. "Pokoknya, kamu harus menikahi dia!"
Sepulang dari Yogyakarta ia mendapat tugas dari ayahnya mengelola kedai kopi. Awalnya ia tidak suka dengan tugas itu. Tapi, lama-lama ia senang, banyak pria yang datang ke kedainya. Ia selalu menunggu-nunggu, siapa tahu ada yang bisa memikat hatinya.
Hari demi hari berlalu, tak terasa kedai kopinya sudah dua tahun berdiri. Yuni, gadis berumur 17 tahun itu tak juga mendapati ada seorang pria yang benar-benar membuatnya terkesan. Sedikit banyak ayahnya benar: mereka yang datang ke kedai kopinya rata-rata pemalas. Namun, ia senang berada di antara para pria, itulah yang membuatnya selalu bersikap ramah. Ia tahu, keramahannya tidak akan membuat pria itu bertindak macam-macam kepadanya. Mereka semua tahu siapa ayahnya.
Pernikahan Yuni akan digelar sebulan lagi. Hatinya sering cemas memikirkan hidup bersama Cahyo yang mengerikan. Yuni sering murung, menatapi langit malam sendirian. Ia berbisik kepada bintang yang paling terang, untuk masuk ke dalam sanubarinya, menerangi hatinya. Kepada siapa lagi ia hendak mengadu? Adiknya yang masih berumur 10 tahun tak mengerti apa yang dialaminya. Teman-teman baiknya yang sering menghabiskan waktu bersamanya satu per satu menikah, sudah jarang berbagi isi hati.
Tak terasa air matanya menetes pada suatu malam, membayangkan kehidupan yang bakal ia jalani. Orangtuanya tentu bermaksud baik—ia memang semestinya menikah seperti kawan-kawannya. Dan Cahyo pun belum tentu jahat, walaupun ia sungguh menyebalkan. Namun, hatinya ingin merasakan apa itu cinta. Ia ingin, paling tidak sekali seumur hidupnya, merasakan apa yang disebut kawan-kawannya sebagai "getar-getar asmara". Ia ingin merasakan pelukan dan kecupan yang hangat dan rayuan yang manis. Ia sering membayangkan duduk bersama pria yang ia cintai, menyaksikan mentari tenggelam dan langit gelap dihiasi bintang-bintang dari lereng Semeru.
Obor-obor yang menyala dari rumah-rumah, ternak-ternak yang digiring kembali ke kandangnya, cahaya yang meredup digantikan kegelapan, betapa hatinya damai menyaksikan semua itu, sambil berharap ada seorang kekasih yang bercerita kepadanya tentang negeri-negeri yang jauh. Namun, semua angan Yuni sirna tiap malam seiring kantuk yang selalu mendatanginya.
Pernikahan Yuni akan dilaksanakan dua minggu lagi. Menjelang sore, saat kedainya hampir tutup, ia mendengar derap langkah kuda; tinggal dua pria yang ada di kedai itu. Kuda itu berlari sangat kencang sebelum sampai di depan kedai, debu-debu beterbangan di depan kedai. Yuni dan kedua pria di kedainya menoleh sambil mengebaskan tangan di depan hidung.
Ketika pria itu masuk ke dalam kedai, Yuni merasakan sesuatu bergejolak dalam hatinya. Pria itu berbadan tegap, berbaju putih, kuncir rambutnya ia lepas saat hendak duduk. Wajahnya tampak begitu tenang, dan tatapannya memancarkan kewaspadaan. "Saya minta maaf, kuda saya tadi berlari terlalu kencang. Saya baru menyadari, ada kedai kopi di sini," katanya sambil sedikit membungkuk, lalu duduk.
Kedua pria yang ada di kedai mengangguk hampir bersamaan, tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Kisanak," kata salah satu dari mereka.
Yuni menangkap kewibawaan dalam suara pria itu. Ia jadi salah tingkah ketika pria itu menatapnya, lalu berkata, "Adik, bolehkah aku dibuatkan segelas kopi? Kedai ini belum tutup?"
Yuni tersentak, biasanya ia yang menawari kopi terlebih dahulu. "Boleh, boleh," jawabnya terburu-buru. "Masih... masih belum tutup, Tuan," katanya terbata-bata, hampir menjatuhkan gelas yang dipegangnya.
Saat Yuni membuat kopi untuk pria asing itu, kedua pengunjung sebelumnya membayar, berpamitan pulang. Jantung Yuni berdegup kencang membayangkan akan berdua saja dengan pria asing itu. Oh... siapakah dia? Yuni takut, tangannya sedikit bergetar ketika akan menghidangkan kopi untuk pria itu. Namun, ia heran, jauh di dalam hatinya, ia merasakan kegembiraan. (Bersambung) 

Pontianak, 15-16 Desember 2014