Seri
2: Rencana Pernikahan Yuni (2)
DI
kedai kopi, pria berbaju putih yang menunggang kuda itu menyeruput kopi yang
dibuat Yuni perlahan-lahan. Ia membaui asap yang menari-nari di atas gelas
sambil terpejam. Beberapa kali Yuni melihatnya menarik dan mengembuskan napas
panjang sambil tersenyum kecil. Yuni sesekali melirik, bahkan menatap wajah
pria itu bila ia terpejam. Bila mata pria itu terbuka, buru-buru ia mengalihkan
wajah, memandang tempat lain.
"Jadi,
Adik hanya sendirian menjaga kedai kopi ini?" tanya pria itu, membuat Yuni
terkesiap.
"Iya,
Tuan. Kedai ini milik ayah saya." Yuni mencoba akrab. "Tuan sendiri,
berasal dari mana? Lalu, hendak ke mana?"
"Saya
berasal dari Singasari, hendak ke Ranu Kumbolo. Saya akan menyampaikan pesan
kepada seseorang yang memiliki pondok di tepi Ranu Kumbolo."
"Ranu
Kumbolo... saya pernah mendengar tentang danau itu dari Ayah. Betapa indah
danau itu saat pagi atau senja. Katanya ada dua bukit kecil di tepi danau, dan
bayang-bayang keduanya tampak jelas di air danau bila ditimpa cahaya yang
remang."
Pemuda
itu tersenyum, menatap Yuni, memperhatikan caranya bercerita. "Kurasa kau
perlu ke sana bila ada kesempatan. Betul katamu, danau itu memang indah."
"Ah,"
kata Yuni sambil memasang wajah cemberut. "Tapi tidak ada yang mengajak
aku ke sana. Ayah selalu sibuk."
Pemuda
itu menatap kopi di depannya, telunjuk tangan kanannya ia putarkan beberapa
kali di bibir gelas. Ia sedang berpikir. Beberapa saat Yuni menunggu
tanggapannya. "Adik, bolehkah saya tahu, siapa nama Adik?"
"Nama
saya Wahyuni. Panggil saya Yuni. Kalau Tuan?"
"Saya
Tirta."
"Tirta,
bukankah itu berarti 'air', Tuan?" tanya Yuni yang tak ingin pemuda itu
lekas pergi karena ia melihat kopinya tinggal sedikit.
"Benar,
Tirta berarti air. Kau tahu dari mana, Dik Yuni?"
"Aku
pernah mendengarnya, entah dari siapa, aku lupa." Pikiran Yuni kembali ke
Ranu Kumbolo, ia memberanikan diri berkata, "Kalau nama Tuan berarti 'air',
bolehkah saya bertanya?"
Pemuda
itu mengangkat alis. "Boleh."
"Tuan
suka ketenangan seperti danau, kedahsyatan seperti gelombang samudera,
perjalanan panjang seperti sungai, atau cepat bergerak seperti air
terjun?"
Pemuda
itu menunduk, menyembunyikan senyum yang makin lebar di wajahnya. Ia mengangkat
wajah, merenung sejenak sebelum berkata, "Suasana hatiku sering
berubah-ubah. Kukira Adik juga sering mengalaminya. Tidak usah jauh-jauh: di
perjalanan tadi dan di kedai kopi ini suasana hatiku terasa berbeda."
"Kalau
di perjalanan tadi?"
"Rasanya
seperti air terjun. Aku ingin bergerak cepat."
"Kalau...
suasana hati Tuan di sini?"
"Aku
merasa ada danau di dalam hatiku. Kopi dan kehadiran Adik membuatku lebih
tenang."
Yuni
meremas ujung kain bajunya dengan lembut, menunduk, tersenyum lebar. Ia memang
mempunyai kemampuan itu, memikat para pria. Tiap hari ia digoda, sudah kebal
dirayu-rayu. Tapi entah kenapa, pemuda yang satu ini lain daripada yang lain.
Ada pesona dan misteri yang tidak biasa dari cara bicaranya. Namun, mengingat
pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, hatinya gelisah.
"Adik,"
suara Tirta membuyarkan lamunannya. "Saya hendak pamit," katanya
sambil menyodorkan uang untuk membayar.
"Terima
kasih, Tuan," kata Yuni sambil mengulurkan tangan, menerima uang.
Tirta
tersenyum, berbalik, melangkah keluar. Yuni menatap punggung pemuda itu dengan
sedih. Ia akan pergi, dan mungkin tak akan pernah kembali. Kedai ini memang
hanya tempat singgah. Semua orang datang dan pergi. Yuni menutup kedainya,
melangkah pulang. Satu senja berlalu; ia menghitung hari, lagi dan lagi.
MALAM
hari, menjelang tidur, samar-samar Yuni mendengar ringkikan kuda. Ia teringat
pada pemuda itu, bangkit dari ranjangnya, membuka jendela. Di luar rumah ia tak
melihat apa pun, sepi, hanya terdengar kerik jangkrik. Ia menatap
bintang-bintang, menunggu ketidakpastian.
Saat
hendak menutup jendela, samar-samar Yuni melihat cahaya di kejauhan. Cahaya
obor. Obor itu bergerak makin dekat, menuju rumahnya. Senyumnya mengembang begitu
lebar ketika melihat wajah yang memegang obor itu. Tirta, pemuda itu!
"Hei,
Tuan, kenapa kemari?" teriaknya pelan ketika Tirta sudah makin dekat
rumahnya.
Tirta
menancapkan obor di tanah, berlari kecil menghampiri Yuni.
"Tunggu
sebentar," kata Yuni meninggalkan Tirta yang hampir menjawab
pertanyaannya. Yuni membuka pintu, berjingkat-jingkat mendekati kamar
orangtuanya. Ia menempelkan kuping di pintu kamar, lalu tahu, ibunya sudah
tidur. Ayahnya sedang keluar desa sejak kemarin, membantu Kompeni mengawasi
produksi kopi di desa lain, baru akan pulang beberapa hari ke depan.
"Bagaimana
Tuan bisa kemari?"
"Aku
sebenarnya tadi sangat lelah waktu singgah di kedaimu. Setelah berpamitan, aku
tidak langsung pergi. Aku duduk di bawah pohon, tak terlalu jauh dari kedaimu.
Tali kuda kuikatkan di pohon. Ketika terjaga, langit mulai gelap. Aku
mengurungkan niat ke Ranu Kumbolo, berbalik arah."
"Kedaiku
tutup tak lama setelah Tuan pergi."
"Iya,
aku lewat lagi di depan kedaimu. Sudah tutup. Tapi tak lama kamudian aku melihatmu.
Kau sedang hendak keluar rumah. Jadi, aku tahu rumahmu."
"Oh,
iya. Saya selalu pulang ke rumah setelah dari kedai. Lalu, keluar lagi untuk
mandi di sungai di seberang sana itu," kata Yuni sambil menunjuk suatu
arah.
Tirta
mengangguk. "Dik Yuni apakah sudah mengantuk?"
Yuni
hampir terlelap sebelum ia membuka jendela. Ia menggeleng.
"Bagaimana
kalau kita berjalan-jalan? Tadi kulihat ada batu besar yang tak jauh dari
kedaimu. Nyaman sekali kalau duduk-duduk di situ."
Yuni
mendesah panjang. Batu itu! Itu tempat kesukaannya untuk menyendiri! Tapi ia
mengkhawatirkan satu hal. "Saya mau, saya suka tempat itu. Tapi, pintu
rumah ini bila dibuka dan ditutup suara deritnya akan membangunkan Ibu."
Rumah Yuni dibangun agak tinggi, lantainya semeter di atas tanah.
"Jadi?"
"Kalau
Ibu terbangun, lalu tahu saya keluar malam-malam dengan orang asing seperti
Tuan, saya akan dimarahi habis-habisan."
"Aku
memang orang asing. Tapi yakinlah, aku bukan pria yang jahat, Dik Yuni. Kalau
Dik Yuni melompat dari jendela, nanti kaki atau badannya bisa sakit, membentur
tanah. Sini, mari kugendong, keluar dari jendela ini," kata Tirta sambil
merentangkan kedua tangannya, siap menyambut Yuni.
Yuni
tersenyum, mengangkat kakinya, memeluk leher Tirta. Ia memutuskan percaya,
Tirta bukan orang jahat. Yuni tertawa kecil ketika tubuhnya mendarat dalam
dekapan Tirta. Tirta membawanya menjauhi jendela, tetap menggendongnya.
"Tuan jadi nakal, ya? Kenapa saya digendong terus sambil jalan?"
"Oh
iya, maafkan saya, Dik Yuni. Saya lupa tugas saya tadi hanya membantu Adik
turun," kata Tirta sambil menurunkan Yuni dari gendongannya.
Sepasang
manusia itu pun selama beberapa saat berjalan dalam keheningan, sama-sama
menunduk. Yuni sebenarnya ingin digendong lebih lama, tapi ia tak mau harga
dirinya jadi sedemikian rendah di mata Tirta, terlalu mudah akrab dengannya.
Saat
sampai di batu hitam yang besar dan landai itu, Yuni pun bertanya, "Apa
sebenarnya pekerjaan Tuan?"
"Dik
Yuni, sebelum saya bercerita, bolehkah saya meminta Adik memanggil saya dengan
panggilan lain? Panggil saya 'Kakang', karena saya memanggilmu 'Adik'."
Yuni
mengangguk. "Iya, Kakang."
"Begini,
saya seorang pembawa pesan. Pengantar surat. Namun, dalam waktu dekat saya akan
berhenti. Saya akan belajar beberapa ilmu dari Ki Kramareksa yang tinggal di
Ranu Kumbolo itu."
"Ilmu?
Ilmu apa saja, Kakang?"
"Ki
Kramareksa terkenal pengetahuannya dalam kanuragan dan agama. Saya pernah
bertemu tiga kali dengan beliau. Kata-kata dan jurus-jurus beliau membuat saya
terkesan."
"Lalu,
setelah berguru pada beliau, Tuan akan bekerja sebagai apa?"
Tirta
mendesah panjang. "Entahlah, Dik Yuni. Sejak Kompeni datang ke Nusantara,
pekerjaan yang paling diincar karena cepat membuat kaya adalah menjadi
pedagang. Tidak lagi banyak orang yang berminat menjadi abdi raja, petani, atau
pemuka agama."
Yuni
merasa masih kurang pengetahuannya, bingung menanggapi apa yang dikatakan Tirta
baru saja. Tirta mengucapkan beberapa kalimat lagi, tapi Yuni tak
mendengarkannya. Ia hanya suka mendengar suara Tirta yang agak berat,
menenangkan hatinya. Yang ada dalam pikirannya adalah pernikahan yang
menakutkan. Yuni sedang dihimpit ketidakpastian.
"Kakang,
menurut Kakang, apa itu cinta?" Yuni terkejut, ia seperti tak sadar
mengucapkannya. "Tapi, kalau Kakang tak mau menjawab tidak apa-apa,"
lanjutnya buru-buru.
Tirta
menatap wajah Yuni, menggeleng. Yuni tidak mengerti mengapa pria itu
menggeleng. Tirta mendekatkan duduknya, telapak tangannya mengelus punggung
tangan Yuni perlahan, meraba jari-jarinya. Yuni ingin menarik tangannya, tapi
tidak jadi—kapan lagi ia akan merasakan kemesraan seperti ini?
"Mungkin,
cinta adalah keheningan, Dik. Cinta memampukan kita tenggelam dalam keheningan,
walau dunia ini penuh keributan, juga ketidakpastian."
Tangan
Tirta berpindah ke pundak Yuni, merangkulnya. Yuni merebahkan kepalanya di
pundak Tirta, terpejam. Pundak Tirta yang berbadan kekar itu membuatnya merasa
aman dan damai. Malam makin larut dan dingin. Untuk pertama kali dalam
hidupnya, Yuni tak ingin rebah di kasur. Ia ingin sampai pagi di atas batu itu,
bersama Tirta. Tapi Tirta bukan kekasihnya, dan ia belum tahu apa yang sedang
Yuni alami. (Bersambung)
Pontianak,
22 Desember 2014