Sunday, December 21, 2014

Seri 2

Seri 2: Rencana Pernikahan Yuni (2)

DI kedai kopi, pria berbaju putih yang menunggang kuda itu menyeruput kopi yang dibuat Yuni perlahan-lahan. Ia membaui asap yang menari-nari di atas gelas sambil terpejam. Beberapa kali Yuni melihatnya menarik dan mengembuskan napas panjang sambil tersenyum kecil. Yuni sesekali melirik, bahkan menatap wajah pria itu bila ia terpejam. Bila mata pria itu terbuka, buru-buru ia mengalihkan wajah, memandang tempat lain.
"Jadi, Adik hanya sendirian menjaga kedai kopi ini?" tanya pria itu, membuat Yuni terkesiap.
"Iya, Tuan. Kedai ini milik ayah saya." Yuni mencoba akrab. "Tuan sendiri, berasal dari mana? Lalu, hendak ke mana?"
"Saya berasal dari Singasari, hendak ke Ranu Kumbolo. Saya akan menyampaikan pesan kepada seseorang yang memiliki pondok di tepi Ranu Kumbolo."
"Ranu Kumbolo... saya pernah mendengar tentang danau itu dari Ayah. Betapa indah danau itu saat pagi atau senja. Katanya ada dua bukit kecil di tepi danau, dan bayang-bayang keduanya tampak jelas di air danau bila ditimpa cahaya yang remang."
Pemuda itu tersenyum, menatap Yuni, memperhatikan caranya bercerita. "Kurasa kau perlu ke sana bila ada kesempatan. Betul katamu, danau itu memang indah."
"Ah," kata Yuni sambil memasang wajah cemberut. "Tapi tidak ada yang mengajak aku ke sana. Ayah selalu sibuk."
Pemuda itu menatap kopi di depannya, telunjuk tangan kanannya ia putarkan beberapa kali di bibir gelas. Ia sedang berpikir. Beberapa saat Yuni menunggu tanggapannya. "Adik, bolehkah saya tahu, siapa nama Adik?"
"Nama saya Wahyuni. Panggil saya Yuni. Kalau Tuan?"
"Saya Tirta."
"Tirta, bukankah itu berarti 'air', Tuan?" tanya Yuni yang tak ingin pemuda itu lekas pergi karena ia melihat kopinya tinggal sedikit.
"Benar, Tirta berarti air. Kau tahu dari mana, Dik Yuni?"
"Aku pernah mendengarnya, entah dari siapa, aku lupa." Pikiran Yuni kembali ke Ranu Kumbolo, ia memberanikan diri berkata, "Kalau nama Tuan berarti 'air', bolehkah saya bertanya?"
Pemuda itu mengangkat alis. "Boleh."
"Tuan suka ketenangan seperti danau, kedahsyatan seperti gelombang samudera, perjalanan panjang seperti sungai, atau cepat bergerak seperti air terjun?"
Pemuda itu menunduk, menyembunyikan senyum yang makin lebar di wajahnya. Ia mengangkat wajah, merenung sejenak sebelum berkata, "Suasana hatiku sering berubah-ubah. Kukira Adik juga sering mengalaminya. Tidak usah jauh-jauh: di perjalanan tadi dan di kedai kopi ini suasana hatiku terasa berbeda."
"Kalau di perjalanan tadi?"
"Rasanya seperti air terjun. Aku ingin bergerak cepat."
"Kalau... suasana hati Tuan di sini?"
"Aku merasa ada danau di dalam hatiku. Kopi dan kehadiran Adik membuatku lebih tenang."
Yuni meremas ujung kain bajunya dengan lembut, menunduk, tersenyum lebar. Ia memang mempunyai kemampuan itu, memikat para pria. Tiap hari ia digoda, sudah kebal dirayu-rayu. Tapi entah kenapa, pemuda yang satu ini lain daripada yang lain. Ada pesona dan misteri yang tidak biasa dari cara bicaranya. Namun, mengingat pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, hatinya gelisah.
"Adik," suara Tirta membuyarkan lamunannya. "Saya hendak pamit," katanya sambil menyodorkan uang untuk membayar.
"Terima kasih, Tuan," kata Yuni sambil mengulurkan tangan, menerima uang.
Tirta tersenyum, berbalik, melangkah keluar. Yuni menatap punggung pemuda itu dengan sedih. Ia akan pergi, dan mungkin tak akan pernah kembali. Kedai ini memang hanya tempat singgah. Semua orang datang dan pergi. Yuni menutup kedainya, melangkah pulang. Satu senja berlalu; ia menghitung hari, lagi dan lagi.

MALAM hari, menjelang tidur, samar-samar Yuni mendengar ringkikan kuda. Ia teringat pada pemuda itu, bangkit dari ranjangnya, membuka jendela. Di luar rumah ia tak melihat apa pun, sepi, hanya terdengar kerik jangkrik. Ia menatap bintang-bintang, menunggu ketidakpastian.
Saat hendak menutup jendela, samar-samar Yuni melihat cahaya di kejauhan. Cahaya obor. Obor itu bergerak makin dekat, menuju rumahnya. Senyumnya mengembang begitu lebar ketika melihat wajah yang memegang obor itu. Tirta, pemuda itu!
"Hei, Tuan, kenapa kemari?" teriaknya pelan ketika Tirta sudah makin dekat rumahnya.
Tirta menancapkan obor di tanah, berlari kecil menghampiri Yuni.
"Tunggu sebentar," kata Yuni meninggalkan Tirta yang hampir menjawab pertanyaannya. Yuni membuka pintu, berjingkat-jingkat mendekati kamar orangtuanya. Ia menempelkan kuping di pintu kamar, lalu tahu, ibunya sudah tidur. Ayahnya sedang keluar desa sejak kemarin, membantu Kompeni mengawasi produksi kopi di desa lain, baru akan pulang beberapa hari ke depan.
"Bagaimana Tuan bisa kemari?"
"Aku sebenarnya tadi sangat lelah waktu singgah di kedaimu. Setelah berpamitan, aku tidak langsung pergi. Aku duduk di bawah pohon, tak terlalu jauh dari kedaimu. Tali kuda kuikatkan di pohon. Ketika terjaga, langit mulai gelap. Aku mengurungkan niat ke Ranu Kumbolo, berbalik arah."
"Kedaiku tutup tak lama setelah Tuan pergi."
"Iya, aku lewat lagi di depan kedaimu. Sudah tutup. Tapi tak lama kamudian aku melihatmu. Kau sedang hendak keluar rumah. Jadi, aku tahu rumahmu."
"Oh, iya. Saya selalu pulang ke rumah setelah dari kedai. Lalu, keluar lagi untuk mandi di sungai di seberang sana itu," kata Yuni sambil menunjuk suatu arah.
Tirta mengangguk. "Dik Yuni apakah sudah mengantuk?"
Yuni hampir terlelap sebelum ia membuka jendela. Ia menggeleng. 
"Bagaimana kalau kita berjalan-jalan? Tadi kulihat ada batu besar yang tak jauh dari kedaimu. Nyaman sekali kalau duduk-duduk di situ."
Yuni mendesah panjang. Batu itu! Itu tempat kesukaannya untuk menyendiri! Tapi ia mengkhawatirkan satu hal. "Saya mau, saya suka tempat itu. Tapi, pintu rumah ini bila dibuka dan ditutup suara deritnya akan membangunkan Ibu." Rumah Yuni dibangun agak tinggi, lantainya semeter di atas tanah.
"Jadi?"
"Kalau Ibu terbangun, lalu tahu saya keluar malam-malam dengan orang asing seperti Tuan, saya akan dimarahi habis-habisan."
"Aku memang orang asing. Tapi yakinlah, aku bukan pria yang jahat, Dik Yuni. Kalau Dik Yuni melompat dari jendela, nanti kaki atau badannya bisa sakit, membentur tanah. Sini, mari kugendong, keluar dari jendela ini," kata Tirta sambil merentangkan kedua tangannya, siap menyambut Yuni.
Yuni tersenyum, mengangkat kakinya, memeluk leher Tirta. Ia memutuskan percaya, Tirta bukan orang jahat. Yuni tertawa kecil ketika tubuhnya mendarat dalam dekapan Tirta. Tirta membawanya menjauhi jendela, tetap menggendongnya. "Tuan jadi nakal, ya? Kenapa saya digendong terus sambil jalan?"
"Oh iya, maafkan saya, Dik Yuni. Saya lupa tugas saya tadi hanya membantu Adik turun," kata Tirta sambil menurunkan Yuni dari gendongannya.
Sepasang manusia itu pun selama beberapa saat berjalan dalam keheningan, sama-sama menunduk. Yuni sebenarnya ingin digendong lebih lama, tapi ia tak mau harga dirinya jadi sedemikian rendah di mata Tirta, terlalu mudah akrab dengannya.
Saat sampai di batu hitam yang besar dan landai itu, Yuni pun bertanya, "Apa sebenarnya pekerjaan Tuan?"
"Dik Yuni, sebelum saya bercerita, bolehkah saya meminta Adik memanggil saya dengan panggilan lain? Panggil saya 'Kakang', karena saya memanggilmu 'Adik'."
Yuni mengangguk. "Iya, Kakang."
"Begini, saya seorang pembawa pesan. Pengantar surat. Namun, dalam waktu dekat saya akan berhenti. Saya akan belajar beberapa ilmu dari Ki Kramareksa yang tinggal di Ranu Kumbolo itu."
"Ilmu? Ilmu apa saja, Kakang?"
"Ki Kramareksa terkenal pengetahuannya dalam kanuragan dan agama. Saya pernah bertemu tiga kali dengan beliau. Kata-kata dan jurus-jurus beliau membuat saya terkesan." 
"Lalu, setelah berguru pada beliau, Tuan akan bekerja sebagai apa?" 
Tirta mendesah panjang. "Entahlah, Dik Yuni. Sejak Kompeni datang ke Nusantara, pekerjaan yang paling diincar karena cepat membuat kaya adalah menjadi pedagang. Tidak lagi banyak orang yang berminat menjadi abdi raja, petani, atau pemuka agama."
Yuni merasa masih kurang pengetahuannya, bingung menanggapi apa yang dikatakan Tirta baru saja. Tirta mengucapkan beberapa kalimat lagi, tapi Yuni tak mendengarkannya. Ia hanya suka mendengar suara Tirta yang agak berat, menenangkan hatinya. Yang ada dalam pikirannya adalah pernikahan yang menakutkan. Yuni sedang dihimpit ketidakpastian.
"Kakang, menurut Kakang, apa itu cinta?" Yuni terkejut, ia seperti tak sadar mengucapkannya. "Tapi, kalau Kakang tak mau menjawab tidak apa-apa," lanjutnya buru-buru. 
Tirta menatap wajah Yuni, menggeleng. Yuni tidak mengerti mengapa pria itu menggeleng. Tirta mendekatkan duduknya, telapak tangannya mengelus punggung tangan Yuni perlahan, meraba jari-jarinya. Yuni ingin menarik tangannya, tapi tidak jadi—kapan lagi ia akan merasakan kemesraan seperti ini?
"Mungkin, cinta adalah keheningan, Dik. Cinta memampukan kita tenggelam dalam keheningan, walau dunia ini penuh keributan, juga ketidakpastian." 
Tangan Tirta berpindah ke pundak Yuni, merangkulnya. Yuni merebahkan kepalanya di pundak Tirta, terpejam. Pundak Tirta yang berbadan kekar itu membuatnya merasa aman dan damai. Malam makin larut dan dingin. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Yuni tak ingin rebah di kasur. Ia ingin sampai pagi di atas batu itu, bersama Tirta. Tapi Tirta bukan kekasihnya, dan ia belum tahu apa yang sedang Yuni alami. (Bersambung) 

Pontianak, 22 Desember 2014

No comments:

Post a Comment