Monday, December 15, 2014

Seri 1

Seri 1: Rencana Pernikahan Yuni (1)

GADIS penjaga kedai kopi di ujung Desa Tumpang itu kabarnya akan segera menikah. Beberapa pria yang sering mengunjungi kedai jadi sering berwajah muram karenanya. Yang duda hingga perjaka, yang belum beristri hingga beristri tiga, jadi kecewa. Yuni, gadis itu, walaupun menurut beberapa orang tidak terlalu cantik, seringkali berhasil memikat pria-pria yang datang ke kedainya.
Yuni berkulit kuning langsat. Rambutnya hitam sepunggung, bila ia biarkan terurai tampak sungguh menawan. Dan, yang paling menggemaskan adalah suaranya yang kecil, mirip kanak-kanak. Menurut beberapa cerita, orang yang tidak ingin minum kopi jadi ingin kalau Yuni sudah menyapanya sambil tersenyum kecil, "Mau saya buatkan kopi, Mas?" 
"Yuni dan kopinya... oh, sungguh, keduanya adalah candu," bisik seorang pria yang terkenal suka membuat syair pada suatu petang kepada pria-pria yang sedang minum kopi di kedai. Saat itu Yuni sedang ke belakang—mungkin sedang buang air kecil atau mencuci gelas dan sendok—tidak mendengarnya. Namun, beberapa pria yang ada pada saat itu di situ menggumamkan kata-kata itu, terus mengingatnya.
Begitulah, di Desa Tumpang tersiar berita atau kata-kata kekaguman: "Yuni dan kopi adalah candu." Kata-kata itu pun menyebar, membuat para pria suka berkata satu sama lain: "Sampai jumpa lagi di Kedai Kopi Yuni."
Cerita-cerita tentang Yuni membuat kedai itu tidak pernah sepi. Namun, tidak ada pria yang berani mendekati Yuni. Ayah Yuni sangat disegani warga desa karena jabatan dan kekuasaannya. Noto Sugriwo namanya, dipercaya Kompeni sebagai penanggung jawab produksi kopi yang dikirim ke Eropa. Sejak kopi mulai ditanam di berbagai wilayah Nusantara pada akhir abad ke-17, kopi menjadi minuman yang sangat digemari berbagai kalangan.
Noto Sugriwo, sama seperti antek Kompeni lainnya, cenderung tidak disukai rakyat. Tapi belum ada yang berani mengatakannya terang-terangan. Biasanya mereka menunduk sambil tersenyum bila berjumpa dengannya, tapi menyeringai atau cemberut setelah ia berlalu. Ada yang sangat membenci Noto Sugriwo sehingga suka menggunjingkannya sambil mengganti namanya menjadi Noto Segawon. "Segawon" dalam bahasa Jawa halus artinya "anjing". Bahkan, di desa itu, ada seorang pria yang berlaku kelewatan, anjing peliharaannya ia beri nama Noto.
Noto Sugriwo sedikit banyak diselamatkan oleh kedai kopi yang didirikannya. Ia tahu, usaha mandirinya ini bakal ramai sehingga mempercayakannya kepada Yuni, tidak kepada orang lain. Mempercayakan kedai itu kepada orang selain keluarganya terlalu besar risikonya. Belum tentu orang kepercayaannya itu loyal; apalagi banyak sekali orang-orang yang membenci Kompeni, bisa saja ia dihasut dan kedainya bangkrut.
Noto Sugriwo berencana menjodohkan Yuni dengan seorang pria asal Yogyakarta, seorang kerabat raja. "Agar nanti, kalau anak-anakmu lahir, mereka terbiasa dengan gaya hidup keraton dan berpikiran maju. Tidak seperti orang-orang goblok yang kerjanya cuma bisa ngopi dan bermalas-malasan di kedai kopi kita," kata Noto Sugriwo kepada Yuni suatu ketika.
Yuni pernah bertemu dengan calon suaminya itu beberapa tahun lalu ketika ia masih berumur 15 tahun. Ia bersama ayah, ibu, dan adiknya mengunjungi keluarga mereka di Yogyakarta, sekalian mampir ke rumah calon suami Yuni. Namanya Raden Mas Cahyo Sambodo, sering dipanggil Cahyo. Cahyo tidak bisa dibilang tampan, tapi tidak juga jelek. Yuni tidak tertarik kepadanya. Ia terlalu suka tertawa, bahkan untuk hal-hal yang tidak lucu, dan sedikit-sedikit berkata, "Oh... gitu."
Yuni masih ingat obrolan mereka. Mereka berdua duduk di pendopo rumah Cahyo, hari mulai beranjak malam. Yuni ingin suasana yang romantis, barangkali saja Cahyo bisa memikatnya. Ia ingin Cahyo merayunya sambil mengibaratkannya sebagai bintang, cahaya, atau apalah. Yuni saat itu masih belum mengenal cinta, ingin merasakan apa yang diceritakan teman-temannya tentang saat-saat mereka berpacaran dengan pasangannya, mendengar kata-kata cinta yang mesra dan membuai hati.
Tapi, Cahyo malah membuka obrolan dengan membahas makanan. Yuni tidak suka pada topik itu. "Yuni, kau suka makan apa? Kenapa tadi makannya sedikit?"
"Aku sebenarnya suka makan apa saja, Mas Cahyo. Mungkin, malam ini aku tidak lagi ingin makan."
Cahyo tersenyum kecil, lalu berkata, "Oh... gitu."
Yuni mencoba ramah, lalu menimpali, "Ya... begitu."
Cahyo bertanya lagi, "Yuni, berapa umurmu?"
"Lima belas tahun."
"Oh... gitu," katanya sambil tersenyum lebar.
Cahyo menanyakan beberapa hal lagi kepada Yuni, Yuni menjawabnya, lalu Cahyo menanggapi sambil tersenyum: "Oh... gitu." Begitulah yang terjadi berulang-ulang pada malam itu. Yuni pun mulai kesal, tapi masih menahan diri. Ia ingin mencairkan suasana, mengajak Cahyo bermain tebak-tebakan, "Mas Cahyo, ibunya dielus-elus, anaknya diinjak-injak. Ayo tebak, apakah itu?"
Cahyo tersenyum, bola matanya berputar-putar. "Ini tebak-tebakan?"
"Iya, ini tebak-tebakan!"
"Oh... gitu."
"Jawab cepat, Mas!" kata Yuni setengah membentak.
Cahyo menggeleng setelah berpikir beberapa detik, tidak tahu jawabannya.
Yuni menghela napas panjang, memberi jawabannya. "Tangga, Mas."
Cahyo berpikir sejenak. "Oh... gituuu," katanya kemudian sambil mengangguk-angguk dan tersenyum lebar.
Yuni makin muak melihat senyum itu, akhirnya meninggalkan Cahyo sendiri di pendopo. Dalam perjalanan pulang ke Tumpang ia berkata kepada ayahnya tak ingin menjadi istri Cahyo. Yuni dimarahi ayahnya habis-habisan ketika ia berkata kepada ayahnya bahwa Cahyo mungkin saja sedikit kurang waras. "Pokoknya, kamu harus menikahi dia!"
Sepulang dari Yogyakarta ia mendapat tugas dari ayahnya mengelola kedai kopi. Awalnya ia tidak suka dengan tugas itu. Tapi, lama-lama ia senang, banyak pria yang datang ke kedainya. Ia selalu menunggu-nunggu, siapa tahu ada yang bisa memikat hatinya.
Hari demi hari berlalu, tak terasa kedai kopinya sudah dua tahun berdiri. Yuni, gadis berumur 17 tahun itu tak juga mendapati ada seorang pria yang benar-benar membuatnya terkesan. Sedikit banyak ayahnya benar: mereka yang datang ke kedai kopinya rata-rata pemalas. Namun, ia senang berada di antara para pria, itulah yang membuatnya selalu bersikap ramah. Ia tahu, keramahannya tidak akan membuat pria itu bertindak macam-macam kepadanya. Mereka semua tahu siapa ayahnya.
Pernikahan Yuni akan digelar sebulan lagi. Hatinya sering cemas memikirkan hidup bersama Cahyo yang mengerikan. Yuni sering murung, menatapi langit malam sendirian. Ia berbisik kepada bintang yang paling terang, untuk masuk ke dalam sanubarinya, menerangi hatinya. Kepada siapa lagi ia hendak mengadu? Adiknya yang masih berumur 10 tahun tak mengerti apa yang dialaminya. Teman-teman baiknya yang sering menghabiskan waktu bersamanya satu per satu menikah, sudah jarang berbagi isi hati.
Tak terasa air matanya menetes pada suatu malam, membayangkan kehidupan yang bakal ia jalani. Orangtuanya tentu bermaksud baik—ia memang semestinya menikah seperti kawan-kawannya. Dan Cahyo pun belum tentu jahat, walaupun ia sungguh menyebalkan. Namun, hatinya ingin merasakan apa itu cinta. Ia ingin, paling tidak sekali seumur hidupnya, merasakan apa yang disebut kawan-kawannya sebagai "getar-getar asmara". Ia ingin merasakan pelukan dan kecupan yang hangat dan rayuan yang manis. Ia sering membayangkan duduk bersama pria yang ia cintai, menyaksikan mentari tenggelam dan langit gelap dihiasi bintang-bintang dari lereng Semeru.
Obor-obor yang menyala dari rumah-rumah, ternak-ternak yang digiring kembali ke kandangnya, cahaya yang meredup digantikan kegelapan, betapa hatinya damai menyaksikan semua itu, sambil berharap ada seorang kekasih yang bercerita kepadanya tentang negeri-negeri yang jauh. Namun, semua angan Yuni sirna tiap malam seiring kantuk yang selalu mendatanginya.
Pernikahan Yuni akan dilaksanakan dua minggu lagi. Menjelang sore, saat kedainya hampir tutup, ia mendengar derap langkah kuda; tinggal dua pria yang ada di kedai itu. Kuda itu berlari sangat kencang sebelum sampai di depan kedai, debu-debu beterbangan di depan kedai. Yuni dan kedua pria di kedainya menoleh sambil mengebaskan tangan di depan hidung.
Ketika pria itu masuk ke dalam kedai, Yuni merasakan sesuatu bergejolak dalam hatinya. Pria itu berbadan tegap, berbaju putih, kuncir rambutnya ia lepas saat hendak duduk. Wajahnya tampak begitu tenang, dan tatapannya memancarkan kewaspadaan. "Saya minta maaf, kuda saya tadi berlari terlalu kencang. Saya baru menyadari, ada kedai kopi di sini," katanya sambil sedikit membungkuk, lalu duduk.
Kedua pria yang ada di kedai mengangguk hampir bersamaan, tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Kisanak," kata salah satu dari mereka.
Yuni menangkap kewibawaan dalam suara pria itu. Ia jadi salah tingkah ketika pria itu menatapnya, lalu berkata, "Adik, bolehkah aku dibuatkan segelas kopi? Kedai ini belum tutup?"
Yuni tersentak, biasanya ia yang menawari kopi terlebih dahulu. "Boleh, boleh," jawabnya terburu-buru. "Masih... masih belum tutup, Tuan," katanya terbata-bata, hampir menjatuhkan gelas yang dipegangnya.
Saat Yuni membuat kopi untuk pria asing itu, kedua pengunjung sebelumnya membayar, berpamitan pulang. Jantung Yuni berdegup kencang membayangkan akan berdua saja dengan pria asing itu. Oh... siapakah dia? Yuni takut, tangannya sedikit bergetar ketika akan menghidangkan kopi untuk pria itu. Namun, ia heran, jauh di dalam hatinya, ia merasakan kegembiraan. (Bersambung) 

Pontianak, 15-16 Desember 2014


No comments:

Post a Comment