GADIS penjaga kedai kopi di ujung Desa Tumpang
itu kabarnya akan segera menikah. Beberapa pria yang sering mengunjungi kedai
jadi sering berwajah muram karenanya. Yang duda hingga perjaka, yang belum
beristri hingga beristri tiga, jadi kecewa. Yuni, gadis itu, walaupun menurut
beberapa orang tidak terlalu cantik, seringkali berhasil memikat pria-pria yang
datang ke kedainya.
Yuni berkulit kuning langsat. Rambutnya hitam
sepunggung, bila ia biarkan terurai tampak sungguh menawan. Dan, yang paling
menggemaskan adalah suaranya yang kecil, mirip kanak-kanak. Menurut beberapa
cerita, orang yang tidak ingin minum kopi jadi ingin kalau Yuni sudah
menyapanya sambil tersenyum kecil, "Mau saya buatkan kopi,
Mas?"
"Yuni dan kopinya... oh, sungguh, keduanya
adalah candu," bisik seorang pria yang terkenal suka membuat syair pada
suatu petang kepada pria-pria yang sedang minum kopi di kedai. Saat itu Yuni
sedang ke belakang—mungkin sedang buang air kecil atau mencuci gelas dan
sendok—tidak mendengarnya. Namun, beberapa pria yang ada pada saat itu di situ
menggumamkan kata-kata itu, terus mengingatnya.
Begitulah, di Desa Tumpang tersiar berita atau
kata-kata kekaguman: "Yuni dan kopi adalah candu." Kata-kata itu pun
menyebar, membuat para pria suka berkata satu sama lain: "Sampai jumpa
lagi di Kedai Kopi Yuni."
Cerita-cerita tentang Yuni membuat kedai itu
tidak pernah sepi. Namun, tidak ada pria yang berani mendekati Yuni. Ayah Yuni
sangat disegani warga desa karena jabatan dan kekuasaannya. Noto Sugriwo
namanya, dipercaya Kompeni sebagai penanggung jawab produksi kopi yang dikirim
ke Eropa. Sejak kopi mulai ditanam di berbagai wilayah Nusantara pada akhir
abad ke-17, kopi menjadi minuman yang sangat digemari berbagai kalangan.
Noto Sugriwo, sama seperti antek Kompeni lainnya,
cenderung tidak disukai rakyat. Tapi belum ada yang berani mengatakannya
terang-terangan. Biasanya mereka menunduk sambil tersenyum bila berjumpa dengannya,
tapi menyeringai atau cemberut setelah ia berlalu. Ada yang sangat membenci
Noto Sugriwo sehingga suka menggunjingkannya sambil mengganti namanya menjadi
Noto Segawon. "Segawon" dalam bahasa Jawa halus artinya
"anjing". Bahkan, di desa itu, ada seorang pria yang berlaku
kelewatan, anjing peliharaannya ia beri nama Noto.
Noto Sugriwo sedikit banyak diselamatkan oleh
kedai kopi yang didirikannya. Ia tahu, usaha mandirinya ini bakal ramai
sehingga mempercayakannya kepada Yuni, tidak kepada orang lain. Mempercayakan
kedai itu kepada orang selain keluarganya terlalu besar risikonya. Belum tentu
orang kepercayaannya itu loyal; apalagi banyak sekali orang-orang yang membenci
Kompeni, bisa saja ia dihasut dan kedainya bangkrut.
Noto Sugriwo berencana menjodohkan Yuni dengan
seorang pria asal Yogyakarta, seorang kerabat raja. "Agar nanti, kalau
anak-anakmu lahir, mereka terbiasa dengan gaya hidup keraton dan berpikiran
maju. Tidak seperti orang-orang goblok yang kerjanya cuma bisa ngopi dan
bermalas-malasan di kedai kopi kita," kata Noto Sugriwo kepada Yuni suatu
ketika.
Yuni pernah bertemu dengan calon suaminya itu
beberapa tahun lalu ketika ia masih berumur 15 tahun. Ia bersama ayah, ibu, dan
adiknya mengunjungi keluarga mereka di Yogyakarta, sekalian mampir ke rumah
calon suami Yuni. Namanya Raden Mas Cahyo Sambodo, sering dipanggil Cahyo.
Cahyo tidak bisa dibilang tampan, tapi tidak juga jelek. Yuni tidak tertarik
kepadanya. Ia terlalu suka tertawa, bahkan untuk hal-hal yang tidak lucu, dan
sedikit-sedikit berkata, "Oh... gitu."
Yuni masih ingat obrolan mereka. Mereka berdua
duduk di pendopo rumah Cahyo, hari mulai beranjak malam. Yuni ingin suasana
yang romantis, barangkali saja Cahyo bisa memikatnya. Ia ingin Cahyo merayunya
sambil mengibaratkannya sebagai bintang, cahaya, atau apalah. Yuni saat itu
masih belum mengenal cinta, ingin merasakan apa yang diceritakan teman-temannya
tentang saat-saat mereka berpacaran dengan pasangannya, mendengar kata-kata
cinta yang mesra dan membuai hati.
Tapi, Cahyo malah membuka obrolan dengan membahas
makanan. Yuni tidak suka pada topik itu. "Yuni, kau suka makan apa? Kenapa
tadi makannya sedikit?"
"Aku sebenarnya suka makan apa saja, Mas
Cahyo. Mungkin, malam ini aku tidak lagi ingin makan."
Cahyo tersenyum kecil, lalu berkata, "Oh...
gitu."
Yuni mencoba ramah, lalu menimpali, "Ya...
begitu."
Cahyo bertanya lagi, "Yuni, berapa
umurmu?"
"Lima belas tahun."
"Oh... gitu," katanya sambil tersenyum
lebar.
Cahyo menanyakan beberapa hal lagi kepada Yuni,
Yuni menjawabnya, lalu Cahyo menanggapi sambil tersenyum: "Oh...
gitu." Begitulah yang terjadi berulang-ulang pada malam itu. Yuni pun
mulai kesal, tapi masih menahan diri. Ia ingin mencairkan suasana, mengajak
Cahyo bermain tebak-tebakan, "Mas Cahyo, ibunya dielus-elus, anaknya
diinjak-injak. Ayo tebak, apakah itu?"
Cahyo tersenyum, bola matanya berputar-putar.
"Ini tebak-tebakan?"
"Iya, ini tebak-tebakan!"
"Oh... gitu."
"Jawab cepat, Mas!" kata Yuni setengah
membentak.
Cahyo menggeleng setelah berpikir beberapa detik,
tidak tahu jawabannya.
Yuni menghela napas panjang, memberi jawabannya.
"Tangga, Mas."
Cahyo berpikir sejenak. "Oh... gituuu,"
katanya kemudian sambil mengangguk-angguk dan tersenyum lebar.
Yuni makin muak melihat senyum itu, akhirnya
meninggalkan Cahyo sendiri di pendopo. Dalam perjalanan pulang ke Tumpang ia
berkata kepada ayahnya tak ingin menjadi istri Cahyo. Yuni dimarahi ayahnya
habis-habisan ketika ia berkata kepada ayahnya bahwa Cahyo mungkin saja sedikit
kurang waras. "Pokoknya, kamu harus menikahi dia!"
Sepulang dari Yogyakarta ia mendapat tugas dari
ayahnya mengelola kedai kopi. Awalnya ia tidak suka dengan tugas itu. Tapi,
lama-lama ia senang, banyak pria yang datang ke kedainya. Ia selalu
menunggu-nunggu, siapa tahu ada yang bisa memikat hatinya.
Hari demi hari berlalu, tak terasa kedai kopinya
sudah dua tahun berdiri. Yuni, gadis berumur 17 tahun itu tak juga mendapati
ada seorang pria yang benar-benar membuatnya terkesan. Sedikit banyak ayahnya
benar: mereka yang datang ke kedai kopinya rata-rata pemalas. Namun, ia senang
berada di antara para pria, itulah yang membuatnya selalu bersikap ramah. Ia
tahu, keramahannya tidak akan membuat pria itu bertindak macam-macam kepadanya.
Mereka semua tahu siapa ayahnya.
Pernikahan Yuni akan digelar sebulan lagi. Hatinya
sering cemas memikirkan hidup bersama Cahyo yang mengerikan. Yuni sering
murung, menatapi langit malam sendirian. Ia berbisik kepada bintang yang paling
terang, untuk masuk ke dalam sanubarinya, menerangi hatinya. Kepada siapa lagi
ia hendak mengadu? Adiknya yang masih berumur 10 tahun tak mengerti apa yang
dialaminya. Teman-teman baiknya yang sering menghabiskan waktu bersamanya satu
per satu menikah, sudah jarang berbagi isi hati.
Tak terasa air matanya menetes pada suatu malam,
membayangkan kehidupan yang bakal ia jalani. Orangtuanya tentu bermaksud
baik—ia memang semestinya menikah seperti kawan-kawannya. Dan Cahyo pun belum
tentu jahat, walaupun ia sungguh menyebalkan. Namun, hatinya ingin merasakan
apa itu cinta. Ia ingin, paling tidak sekali seumur hidupnya, merasakan apa
yang disebut kawan-kawannya sebagai "getar-getar asmara". Ia ingin
merasakan pelukan dan kecupan yang hangat dan rayuan yang manis. Ia sering
membayangkan duduk bersama pria yang ia cintai, menyaksikan mentari tenggelam
dan langit gelap dihiasi bintang-bintang dari lereng Semeru.
Obor-obor yang menyala dari rumah-rumah,
ternak-ternak yang digiring kembali ke kandangnya, cahaya yang meredup
digantikan kegelapan, betapa hatinya damai menyaksikan semua itu, sambil
berharap ada seorang kekasih yang bercerita kepadanya tentang negeri-negeri
yang jauh. Namun, semua angan Yuni sirna tiap malam seiring kantuk yang selalu
mendatanginya.
Pernikahan Yuni akan dilaksanakan dua minggu
lagi. Menjelang sore, saat kedainya hampir tutup, ia mendengar derap langkah
kuda; tinggal dua pria yang ada di kedai itu. Kuda itu berlari sangat kencang
sebelum sampai di depan kedai, debu-debu beterbangan di depan kedai. Yuni dan
kedua pria di kedainya menoleh sambil mengebaskan tangan di depan hidung.
Ketika pria itu masuk ke dalam kedai, Yuni
merasakan sesuatu bergejolak dalam hatinya. Pria itu berbadan tegap, berbaju
putih, kuncir rambutnya ia lepas saat hendak duduk. Wajahnya tampak begitu
tenang, dan tatapannya memancarkan kewaspadaan. "Saya minta maaf, kuda
saya tadi berlari terlalu kencang. Saya baru menyadari, ada kedai kopi di
sini," katanya sambil sedikit membungkuk, lalu duduk.
Kedua pria yang ada di kedai mengangguk hampir
bersamaan, tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Kisanak," kata salah satu
dari mereka.
Yuni menangkap kewibawaan dalam suara pria itu.
Ia jadi salah tingkah ketika pria itu menatapnya, lalu berkata, "Adik,
bolehkah aku dibuatkan segelas kopi? Kedai ini belum tutup?"
Yuni tersentak, biasanya ia yang menawari kopi
terlebih dahulu. "Boleh, boleh," jawabnya terburu-buru.
"Masih... masih belum tutup, Tuan," katanya terbata-bata, hampir
menjatuhkan gelas yang dipegangnya.
Saat Yuni membuat kopi untuk pria asing itu,
kedua pengunjung sebelumnya membayar, berpamitan pulang. Jantung Yuni berdegup
kencang membayangkan akan berdua saja dengan pria asing itu. Oh... siapakah
dia? Yuni takut, tangannya sedikit bergetar ketika akan menghidangkan kopi
untuk pria itu. Namun, ia heran, jauh di dalam hatinya, ia merasakan
kegembiraan. (Bersambung)
Pontianak,
15-16 Desember 2014
No comments:
Post a Comment