Friday, January 2, 2015

Seri 3

Seri 3: Rencana Pernikahan Yuni (3)

MALAM bertabur bintang. Benak Yuni diliputi kebimbangan, beberapa hari lagi Cahyo Sambodo akan datang ke Desa Tumpang, pernikahannya akan segera digelar. Ibunya berkali-kali mengatakan bahwa rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, tapi Yuni merasa tidak yakin bisa mencintai Cahyo. Mungkin bisa, tapi dalam waktu yang lama. Sepulang mengunjungi Cahyo di Yogya, ia mendapat kesan bahwa Cahyo kekanak-kanakan, tidak mandiri, kurang cekatan, dan akan bisa menafkahi keluarga hanya jika meneruskan usaha orangtua atau mertua.    
"Kang Tirta," Yuni memberanikan diri untuk bertanya, "apakah Kakang sudah memiliki kekasih, atau... istri?"
Tirta menatap Yuni, lalu menggeleng pelan. Ia terenyak, melepaskan rangkulannya dari pundak Yuni.
Yuni deg-degan, menimbang-nimbang, apakah ia akan menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada Tirta? "Kenapa Kakang sendiri saja ke mana-mana?"
"Saya merasa belum waktunya mencari pendamping hidup, Dik Yuni. Orang yang suka berkelana seperti saya tentu akan mengecewakan seorang yang menjadi kekasih saya."
"Lalu, apakah hati Kang Tirta damai, ke mana-mana sendiri?"
"Ada kalanya, Dik Yuni, kedamaian tidak ditentukan dari kehadiran orang lain dalam kehidupan kita. Kedamaian bisa kita temukan ketika menyatu dengan alam, berkelana, atau... menikmati kopi yang nikmat di kedaimu," kata Tirta sambil tersenyum.
Wanita adalah makhluk kehadiran—itulah yang Yuni pahami. Wanita bisa merasa damai bila ada yang hadir dan melindunginya. Dan, sosok Tirta yang baru Yuni temui beberapa jam terakhir ini membuatnya yakin, ialah yang semestinya selalu hadir dalam hidupnya lebih lama, bahkan mungkin selamanya. Yuni teringat sesuatu, "Apakah ajaran agama atau ilmu tertentu yang Kakang pelajari dari Ki Kramareksa yang membuat Kakang jadi berpikiran dan memilih jalan hidup begini?"
"Tidak sepenuhnya benar, Dik Yuni."
Yuni ingin mendengar penjelasan lebih panjang dari jawaban Tirta barusan, tapi Tirta hanya diam saja. Ia pun jadi sadar, selama ini dibesarkan dalam keluarga yang hanya mementingkan kesejahteraan, hidup nyaman, tak pernah kekurangan makanan, serta berlimpah harta benda dan kemewahan. Ilmu pengetahuan, rahasia Tuhan, atau misteri kehidupan rasanya tak pernah benar-benar ia selami. Bahkan, keindahan cinta dan asmara yang ia dengar dari teman-temannya hanya melahirkan damba dan tanda tanya dalam benaknya. Berada di samping seorang pria yang tampaknya begitu berdahaga pada misteri kehidupan membuat jiwanya bergairah, memikirkan banyak hal.
Ia jadi teringat, beberapa kali mendengar cerita tentang bangsanya yang tertindas sejak kedatangan Kompeni, tapi tak pernah terlalu menggubrisnya. Banyak orang yang datang ke kedainya membicarakan tentang rencana perlawanan terhadap Kompeni, dan ia menduga, bisa jadi Tirta menjadi bagian di dalamnya. Atau, Tirta sedang mempersiapkan diri menjadi pemuka agama? "Aku ingin tahu, apakah agama yang Kakang anut?"
Tirta menunduk sebentar, lalu berkata setelah kepalanya tegak, memandang ke bukit-bukit. "Saya tidak beragama. Saya kira, saya tidak perlu menjadi Muslim untuk menikmati shalawat yang merdu menjelang maghrib, ketika langit beranjak gelap. Saya tidak perlu menjadi Kristen untuk mengetahui kasih dan kemurahan hati Isa Almasih kepada mereka yang sakit dan membutuhkan pertolongan. Saya tidak perlu menjadi Buddha atau Hindu untuk merasakan keheningan yang agung pada candi-candi yang ada di lereng-lereng gunung. Yang saya perlukan hanyalah jiwa yang bersedia menaruh hormat pada sesuatu yang dianggap luhur oleh umat manusia."
Yuni terpana—baru pertama ia mendengar jawaban demikian. Setelah mengatakan kalimat itu Tirta mengajak Yuni pulang, kembali ke rumahnya. Sudah lewat tengah malam ketika mereka berdua sampai di rumah Yuni. Yuni menempelkan kuping di dinding di luar kamar, memastikan keadaan aman. Ia perlahan-lahan membuka jendela yang tadi ia tutup dari luar.
Yuni tersenyum lebar ketika Tirta merentangkan lagi kedua tangannya, bersiap membopong Yuni masuk ke kamarnya. Yuni tertawa kecil ketika pantatnya berhasil menduduki kusen jendela, memandangi Tirta yang ada di bawahnya dengan manja.
"Jadi, apakah kita akan bertemu lagi, Kakang?" tanya Yuni.
Belum sempat Tirta menjawab, pintu kamar Yuni terbuka. Yuni menoleh. Ibunya berdiri di muka pintu sambil berkacak pinggang dan mendelik. "Apa-apaan kamu! Duduk di jendela! Ngomong sama siapa?"
Yuni menahan napas, nyaris terjatuh mendengar sentakan ibunya. Tangannya berpegang pada bagian kusen jendela yang lain agar tubuhnya tetap seimbang. Ia memandang Tirta, "Kakang... pergilah!"
Tirta menggeleng. "Ada apa?"
"Hei, siapa yang kau ajak bicara, Yuni?! Siapa orang di luar sana itu?" tanya Ibu sambil mendekatinya.
Yuni menjejakkan kedua kaki di lantai kamar, berusaha menghalangi Ibu melihat Tirta. Ia tak mau Tirta disalahkan. "Bu... dia teman saya."
Mata Ibu melihat wajah Tirta samar-samar. "Hah... dia laki-laki... apa yang kalian lakukan di kamar ini?"
Yuni menelan ludah, memandang Ibu dan Tirta bergantian. Saat itu pula terdengar suara kereta kuda dari kejauhan—dua kereta kuda, berjalan beriringan. Yuni segera tahu, siapa yang datang. "Jadi, ayah mampir ke Yogya?"
Ibu, di tengah-tengah amarahnya mengangguk. "Iya, menjemput Cahyo. Nah, mereka sudah datang. Cepat temui mereka, dan bawa orang asing itu!" katanya sambil keluar kamar, hendak menuju ruang tamu, membukakan pintu.
Yuni, wanita muda yang sedang gelisah dan merindukan cinta, tak bisa lagi berpikir panjang. Tak lama setelah Ibu keluar kamar, ia berkata kepada Tirta, "Kakang, bawa aku pergi dari sini!" katanya sambil duduk di kusen jendela, memajukan kedua tangannya, meminta Tirta menyambutnya.
"Mau ke mana, Dik?" tanya Tirta, kebingungan.
"Nanti aku akan jelaskan. Cepatlah, Kang. Aku harus pergi dari sini," kata Yuni setengah berteriak, panik melihat dua kereta kuda yang makin dekat.
"Yuni... apakah kau..."
Belum sempat Tirta menyelesaikan ucapannya, Yuni sudah melompat. Lututnya menghantam tanah. "Sudahlah, Kang, cepat bawa aku pergi!" kata Yuni sambil menggandeng tagan Tirta, mengajaknya berlari. "Di mana Kakang meletakkan kuda Kakang?"
Tirta terdiam, berlari sambil menggandeng Yuni ke pohon tempat dia mengikatkan tali kudanya. "Kita akan ke mana?"
Yuni terengah-engah ketika sampai di pohon itu. "Entahlah, Kang. Ke mana saja, terserah. Kita harus pergi. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan."
"Yuni..." Tirta mengelus pipinya. "Apa yang terjadi? Aku bukan siapa-siapamu. Nanti..."
Yuni menutup mulut Tirta, menoleh ke belakang, dua orang tampak berlari-lari membawa obor. "Kakang mau menyelamatkanku?! Atau tidak?!" Yuni berteriak, air matanya menetes. "Kita harus pergi, jauh, jauh dari rumah ini! Sekarang!"
Tirta melepaskan tali kuda, segera membopong Yuni ke atas kuda. Ia pun menunggangi kuda itu, duduk di depan Yuni, memacu kuda dengan begitu kencang, meninggalkan rumah Yuni.
Yuni pasrah, Tirta mau membawanya ke mana. Yuni memeluk pinggang Tirta erat-erat. Ia tak ingin terjatuh, juga tak ingin melepaskan Tirta. Seumur hidup, baru pertama kali ia menunggang kuda begitu kencang bersama seorang pria. Tangisnya sirna, senyum mulai terbit di wajahnya, walau kebimbangan masih berkecamuk dalam batinnya. 

Pontianak, 3 Januari 2015

1 comment: